Garis mana lagi yang tak Kau luruskan, hingga aku harus menyadari garis itu sendiri. Takdir mana lagi yang tak Kau ijinkan berubah, hingga aku hanya mampu berdoa dan berpasrah. Kau buat seakan tak berujung, seakan tak berpintu, seakan aku terjebak. Takut, aku menjadi dingin, lebih dingin daripada hati yang pernah remuk berkeping-keping. Takut, aku menjadi rentan, lebih rentan daripada daun yang tertiup angin. Takut, aku menjadi penikmat rasa sakit, hingga aku lupa aku harus bahagia.
Berkali-kali dihantam oleh cambuk dunia, melawan sama artinya dengan mengambil resiko yang mungkin kau sendiri tidak tahu, berapa lama luka cambukmu akan paling tidak membaik.
Berkali-kali dipaksa menelan pahit kenyataan, yang terasa menjijikan hingga kau lupa bagaimana pahit dan menjijikan menjadi hal yang menyebalkan, sampai terasa hambar.
Berkali-kali dibiarkan mendingin bersama hati yang kecewa, hingga rasa ingin bahagiamu hilang karena berharap hanya berpulang pada kecewa.
Mungkin, aku mati rasa, menjadi sedingin es, tak lagi ingin berharap, dan parahnya aku lupa untuk membahagiakan diri, hanya karena semua berpulang pada kecewa. Aku ingin rumah lain, yang mengantarku bersama kecewa, dengan pintu pejanji, atap hangat, jendela asa, dan keluarga yang selalu membawa diri ini dalam bahagia, tanpa rasa takut.
Komentar
Posting Komentar